BISNIS TOUR & TRAVEL dengan SYSTEM ONLINE

Prospek Produk Jahe Instan

< Industri-industri pangan kini mulai melirik hal-hal yang berbau herbal, alami, dan organik. Hal tersebut tak jauh dari gencarnya semboyan  ‘Go Green’ dan ‘Go Pangan Lokal’. Berbagai upaya untuk membuat produk ‘alami dan lokal’ diusahakan demi menggaet konsumen. Kata-kata seperti ‘baik untuk kesehatan tubuh dan lingkungan’ menghiasi usaha marketing  produk pangan di negeri ini. Faktanya produk pangan tersebut hanya disisipi sedikit hal yang benar-benar alami dan lokal.

Sebagian besar produk lokal seperti sayur, buah, dan umbi memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Selain itu, produk-produk lokal yang alami tersebut dapat memberikan dampak yang baik bagi lingkungan daripada produk-produk sintetis. Oleh karena itu, kini produk lokal sering dijadikan bahan utama atau hanya dijadikan sebagai batu loncatan bagi para pemegang kuasa industri pangan.  Industri kecil maupun besar saling berebut konsumen, meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu produk lokal yang diandalkan demi kebutuhan industri. Menurut Prastowo (2007: 1), Komoditas jahe saat ini masih menempati urutan teratas dalam penggunaan, sehingga masih memiliki peluang besar untuk dikembangkan terus melalui pengembangan sumber-sumber pertumbuhan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus seiring berjalannya waktu.

Jahe dapat diolah menjadi berbagai macam jenis produk pangan. Terlebih lagi sekarang ini inovasi telah merasuk ke sendi-sendi pikiran manusia. Bukan tak  mungkin di tahun mendatang produk turunan jahe menjadi lebih banyak. Untuk saat ini olahan jahe yang paling populer yaitu Jahe Instan. Menurut Riana (2012), jaheinstan adalah jahe yang berbentuk butiran-butiran/ serbuk dan dalam penggunaannya mudah melarut dalam air dingin atau air panas.

Pengolahan jahe instan di industri menengah ke bawah masih menggunakan cara tradisional. Pengolahan seperti ini didasarkan pada sifat gula pasir yang bisa kembali mengkristal setelah dicairkan dalam kondisi yang tidak asam (pH > 6,7). Prinsip cara pembuatannya yaitu: jahe dicuci bersih, dikupas, dan dipotong-potong. Kemudian jahe dihaluskan dengan cara ditumbuk, diparut, atau diblender. Jahe yang telah lembut diperas sehingga menghasilkan sari jahe.

Sari jahe kemudian diuapkan/ dipanaskan hingga mengental. Lalu ditambahkan gula ke dalamnya dan diaduk terus hingga menjadi bubuk atau kristal. Jahe instan sudah siap dan segera dikemas agar tidak tercemar mikrobia kontaminan yang menyebabkan jahe instan rusak. Pada proses pembuatan dengan cara tradisional tersebut, perbandingan komposisi jahe banding gula yaitu satu banding dua. Ini artinya jika jahe yang digunakan 1 kg maka gula yang diperlukan adalah 2 kg.

Gula memang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Namun, kelebihan gula dalam tubuh justru dapat merusak tubuh. Tubuh manusia normalnya sudah tercukupi kebutuhan gulanya, yaitu maksimal 50 gram per hari, dari karbohidrat yang berupa nasi atau umbi-umbian.  Gula mampu meningkatkan kadar gula darah dan produksi insulin. Menurut Health (2006: 28) kelebihan gula dalam tubuh dapat menekan sistem imun sehingga gangguan autoimun seperti arthritis dan multiple schlerosis dapat terjadi dengan mudah. Selain itu gula juga dapat menyebabkan candidiasis yaitu infeksi karena jamur Candida albicans. Jika konsumsi makanan manis dan karbohidrat sederhananya berlebihan, jamur akan menginfeksi lambung dan berkembang biak dengan cepat sehingga dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan menghambat penurunan berat badan.

Konsumsi jahe memang baik untuk kesehatan, namun jahe instan dengan jumlah gula yang banyak justru akan membahayakan tubuh. Sudah sepatutnya produksi jahe instan dengan cara tradisional diganti atau diinovasi agar gula yang digunakan secukupnya saja. Teknologi spray drying merupakan cara yang tepat untuk menggantikannya. Spray drying merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering berupa serbuk atau butiran oleh suatu proses penyemprotan bahan ke dalam medium kering yang panas (Dziezak, 1980)

Sayangnya teknologi ini hanya cocok digunakan untuk industri besar. Sudah selayaknya pemerintah yang berwenang dibidangnya memberikan bantuan kepada industri menengah ke bawah agar bisa meninggalkan metode tradisional membuat jahe instan dan beralih ke metode yang lebih baik untuk kesehatan konsumen. Selain itu, sebagai masyarakat atau pelajar, dapat juga merumuskan solusi yang lebih baik untuk permasalahan ini. Penciptaan alat baru yang lebih ‘ramah’ sangat dibutuhkan untuk industri skala menengah kebawah.

Oleh: Nurullia Nur Utami, Mahasiswi Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Sumber:  http://beranda-miti.com/jahe-instan-atau-gula-jahe/
  • Dziezak, J.D. 1980. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Journal of Food Technology. 18 (4) : 138
  • Health, Vita. 2006. Diet VCO: Panduan Menurunkan Berat Badan dengan Minyak Kelapa Murni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • Prastowo, Bambang. 2007. Booklet Teknologi Unggulan Tanaman Jahe. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Mobe Bisa Jadi Pengawet Alami untuk Makanan

Masyarakat kini semakin sadar akan pentingnya keamanan pangan. Bukan hanya kandungan gizi dan bahan pangan yang diperhatikan, namun bahan tambahan makanan juga diperhitungkan, termasuk penggunaan pengawet makanan. Berbagai kasus di pasaran tentang pengawet makanan yang tidak seharusnya digunakan menuai protes dari masyarakat. Selain itu, penggunaan pengawet sintetis yang banyak dilakukan oleh produsen makanan juga dapat menimulkan efek samping yang merugikan konsumen. Hal ini mendorong produsen untuk mencari alternatif bahan pengawet makanan dari bahan alami.

Prof. Dr. Ir. Soedarnawati Yasni, M.Agr , peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) melahirkan inovasi di bidang pengawet makakan alami. Di tangannya, Mobe (Ficus sp), salah satu rempah khas Sumatera Utara dapat digunakan sebagai pengawet makanan alami. Di tempat asalnya, Mobe dimanfaatkan sebagai bumbu masakan tradisional gule arsik (gulai ikan tanpa santan) dan naniura (makanan berbahan dasar ikan yang diolah dengan pengasaman selama 24 jam).

Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB ini menguji daya awet Mobe menggunakan bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia colli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus, Bacillus stearothermophillus, dan Pseudomonas fluorescens. Ia menjelaskan bahwa ekstrak Mobe yang larut dalam etil asetat menghambat semua bakteri uji. Kemudian, ekstrak mobe yang larut dalam etil asetat ini diujicobakan pada ikan kakap merah segar untuk mengetahui kefektifan Mobe sebagai bahan pengawet alami. Dari tiga cara yang digunakan (perendaman, pembaluran, dan penyemprotan), perendaman adalah cara terbaik untuk mengawetkan daging kakap merah.

“Daging ikan kakap merah yang direndam dalam ekstrak Mobe mempunyai mutu organoleptik yang lebih baik dari sampel kontrol. Ini berarti suhu rendah saja tidak cukup dalam mempertahankan mutu kesegaran daging ikan”, ujar Soedarnawati seperti yang dirilis oleh Humas IPB. Sifat organoleptik yang direndam dengan ekstrak mobe saat penyimpanan di dalam kulkas menunjukkan daging berwarna putih kekungingan, sedikit tercium aroma amis, aroma ekstrak Mobe, dan tekstur daging yang agak lunak. Sedangkan pada sampel kontrol, daging ikan berwarna putih agak keruh, bau busuk, dan tekstur agak lunak.

Dengan pengembangan di bidang pengawetan makanan secara alami, masyarakat di masa yang akan datang tidak perlu khawatir untuk membeli produk di pasaran. Inovasi terus dilakukan oleh peneliti-peneliti terbaik di dalam maupun luar negeri. (sumber : http://beranda-miti.com/mobe-bisa-jadi-pengawet-alami/ )

Kata Bijak